•Juni 10, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari

Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.

Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.

Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.

Keluarga dan Guru Imam Bukhari

Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.

Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).

Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.

Kejeniusan Imam Bukhari

Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.

Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.

Karya-karya Imam Bukhari

Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama”.

Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”

Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.

Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”

Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”

Penelitian Hadits

Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.

Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.

Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”

Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.

Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits

Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.

Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.

Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Shahih”.

Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.

Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.

Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.

Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.

Terjadinya Fitnah

Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.

Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : “Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.

Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.

Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Di lain kesempatan, ia berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”

Wafatnya Imam Bukhari

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.

persatuan islam

•Juni 24, 2010 • Tinggalkan sebuah Komentar

Gerakan Pendekatan Mazhab Islam sangat efektif dalam mendekatkan pemikiran-pemikiran setiap mazhab dan menciptakan unsur kebersamaan di dalamnya. Tak diragukan lagi bahwa gerakan tersebut juga dapat menyingkirkan sikap saling mengkafirkan pada diri setiap Muslim terhadap sesama saudaranya. Tentu saja usaha tersebut menemui berbagai rintangan sosial-politik dan tipu daya musuh-musuh Islam.

Gerakan Pendekatan Mazhab-Mazhab Islam di Mesir merupakan sebuah gerakan budaya yang menunjukkan sejauhmana tingkat keberagaman, intelektual, akidah, sejarah dan fikih umat Islam.

Gerakan Pendekatan Mazhab Islam sangat efektif dalam mendekatkan pemikiran-pemikiran setiap mazhab dan menciptakan unsur kebersamaan di dalamnya. Tak diragukan lagi bahwa gerakan tersebut juga dapat menyingkirkan sikap saling mengkafirkan pada diri setiap Muslim terhadap sesama saudaranya. Tentu saja usaha tersebut menemui berbagai rintangan sosial-politik dan tipu daya musuh-musuh Islam.

Adalah sangat disayangkan bahwa siasat musuh dalam menciptakan perpecahan dan perselisihan antara Muslimin yang tujuannya adalah terwujudnya instabilitas politik dan kerusuhan tampak berjalan dengan lancar. Tipu muslihat ini terfokus pada usaha untuk mengungkit kembali permasalahan-permasalah sejarah yang sensitif, sehingga umat Islam yang seharusnya bekerja sama menghadapi masalah-masalah besar yang sedang menimpa mereka di masa ini, justru saling berkelahi seputar sejarah dan masa lalu. Permasalahan ini begitu dahsyatnya sampai-sampai satu sama lain dengan mudah membubuhkan stempel “kafir”, padahal perbedaan mereka hanya berkisar pada furu’uddin (cabang-cabang agama). Mereka beranggapan bahwa perbedaan dalam furu’ berkaitan dengan ikhtilaf dalam ushul (prinsip-prinsip agama). Akhirnya, mereka mengeluarkan fatwa kafirnya pengikut mazhab lain dan orang-orang yang tidak sepaham atau berbeda ijtihad dengan mereka. Sebagian dari mufti-mufti (para pemberi fatwa) ini berkeyakinan bahwa orang-orang kafir non-Muslim jauh lebih baik daripada orang-orang Islam yang berbeda pemikiran dengan mereka. Mereka bersikap seperti orang-orang Yahudi Madinah yang menilai kaum Muslimin dengan berkata kepada kaum musyrik: “Kalian lebih mendapatkan hidayah daripada umat Muhammad.”

Semenjak gagalnya gerakan pendekatan ini kondisi Muslimin semakin memburuk. Mereka tidak saling dekat, bahkan hubungan antara satu mazhab dan mazhab yang lain bagaikan hubungan satu agama dan agama lainnya dimana di antara keduanya terletak jurang pemisah yang dalam. Hingga saat ini musuh-musuh Islam sedang melancarkan aksinya untuk menciptakan jurang-jurang pemisah antara umat Islam, bahkan antara penganut satu mazhab sekalipun.

Umat Islam dewasa ini masih juga menyandang predikat obyek penderita/lemah, baik yang di barat maupun di timur, di selatan maupun di utara. Dengan mata telanjang kita dapat menyaksikan pemandangan pahit ini. Umat Islam yang dulunya adalah umat yang paling besar dan berwibawa daripada umat-umat lainnya, kini sedang mengalami kondisi yang tidak sepatutnya dialami.

Mengapa keterpurukan ini begitu mengakar pada diri kita sehingga kita menjadi umat yang lemah, khususnya di hadapan negara-negara adidaya? Mengapa kita tidak saling memahami kondisi internal kita yang runtuh dan berpecah belah? Dan yang lebih utama dari itu semua adalah, mengapa kita tidak bangkit untuk mencari titik keterpurukan—yang membuat kita lemah dan dilemahkan—ini sehingga kita dapat mengatasinya? Memang benar yang melemahkan kita adalah negara-negara adidaya; namun siapa yang membuat diri kita lemah di hadapan mereka?

Masalah berikutnya, apakah diri kita siap untuk mengakui kebenaran segala yang benar, sehingga dengan demikian kita dapat menujukkan keseriusan dalam berusaha keluar dari jeratan malapetaka ini?

Pertanyaan yang lain adalah, rencana dan program apa saja yang harus kita jalankan untuk menyelesaikan masalah ini? Apa yang harus kita lakukan untuk melanjutkan gerakan pendekatan antar-mazhab ini?

Kita harus bersikap transparan dan terus terang. Pertama-tama kita harus membangun kembali jembatan kepercayaan antara satu dan yang lain. Sepanjang sejarah jembatan itu telah dirobohkan berkali-kali oleh para tiran yang memegang tampuk kekuasaan. Para penguasa hanya memiliki hubungan yang baik dengan mazhab- yang mereka akui dan yang menguntungkan mereka. Seharusnya mereka membiarkan penganut mazhab lain berkeyakinan sesuai dengan pemikiran mereka. Tidak seharusnya mereka mengkafirkan, menyebut zindig (munafik) dan memusuhi penganut mazhab lain. Budaya pengkafiran yang diciptakan penguasa ini mempengaruhi kebanyakan orang dan membuat mereka terbiasa dengannya, meskipun tanpa tahu-menahu asal usul dan sebabnya. Konsekuensi dari tradisi buruk ini adalah para penganut mazhab yang tak dianggap resmi memilih untuk lari dan hidup menyendiri serta jauh dari interaksi sosial yang sehat. Mereka melakukan praktek taqiyah (menutupi keyakinan yang sebenarnya) dan berada dalam ketakutan.

Para penjajah datang ke tanah air kita pada abad ke-20, sedangkan kita masih dalam keadaan lalai dan belum menyadari seperti apakah hubungan ideal antar sesama Muslim, apapun mazhab mereka. Para penjajah kala itu dengan penuh kesadaran menjalankan siasatnya agar kita sama sekali melupakan isu persatuan ini, sehingga kita tidak dapat bangkit dengan kekuatan persatuan.

Melihat realita di atas, dapat kita katakan bahwa saat ini kita sedang menghadapi dua masalah besar dan berbahaya yang sedang mengancam gerakan pendekatan antar mazhab. Masalah petama, masalah perpecahanan kita. Perpecahanan ini memang didasari oleh faktor politik, namun kita sendiri yang tertipu dan justru mengikuti siasat tersebut. Kemudian perpecahan ini telah disusun secara rapi sebelumnya dan diarahkan sedemikian rupa hingga benar-benar merasuk dalam tubuh kaum Muslimin. Masalah kedua, problema yang ditimbulkan oleh para penjajah dan negara-negara adidaya kepada kita. Problema ini hanya dapat diatasi dengan dijalankannya strategi pendekatan antar-mazhab Islam, sehingga terciptalah keamanan internal dan solodnya barisan kaum Muslimin saat berhadapan dengan mereka.

Untuk mewujudkan rencana ini, kita perlu memetakan pelbagai perkara dalam timbangan skala prioritas. Sebagian dari perkara tersebut berkaitan dengan akidah umat Islam, dan sebagian lainnya berkaitan dengan kondisi politik mereka. Mengenai perkara-perkara yang berkenaan dengan akidah, kita perlu memperhatikan beberapa masalah di bawah ini:

Pertama, kita perlu meniru Al Qur’an yang mengajarkan kita cara berdiskusi dan membahas sesuatu. Metode diskusi dan perbincangan yang diajarkan Al Qur’an akan mengantarkan kita keluar dari lingkaran egoisme dan kesempitan berpikir menuju sikap inklusif dan keterbukaan. Metode inilah yang disebut metode terbaik dalam berkomunikasi, dimana kedua belah pihak benar-benar mendapatkan penghormatan oleh lawan bicaranya.

Kedua, kita harus menjadikan Islam sebagai parameter tertinggi dalam berinteraksi. Seharusnya dua syahadat (bersaksi bahwa Allah Swt sebagai Pencipta alam semesta dan Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya) dijadikan sebagai syarat terjaganya setiap Muslim dari kekufuran dan kebebasannya dalam berpendapat sesuai dengan mazhab yang diyakininya, sekaligus menjadi syarat perlindungan terhadap harta dan kekayaan yang dimilikinya.

Ketiga, seharusnya kata “kafir” dihapus dari kamus percakapan dan komunikasi antar Muslim. Seseorang tidak akan pernah keluar dari bingkai keimanan dan masuk dalam jurang kekufuran selama ia tidak bertentangan dengan prinsip dua syahadat tersebut.

Keempat, perbedaan mazhab seharusnya dianggap sebagai variasi dalam kesatuan. Ijtihad setiap mazhab tidak boleh dengan mudah dinilai melenceng dari garis Islam. Mazhab lain tidak boleh dianggap bodoh, bahkan musuh, hanya karena perbedaan cara berpikir dan sumbernya saja. Oleh karenanya, sudah merupakan tugas para pemikir Islam untuk menjadikan budaya komunikasi dan diskusi yang sehat sebagai budaya resmi mereka dimana tak seorang pun yang meragukan dampak positif hal ini.

Kelima, jiwa persahabatan, perdamaian, cinta dan kebebasan harus ditanamkan dalam diri setiap Muslim. Ini adalah tugas utama yang harus diemban oleh setiap cendekiawan dan ulama.

Keenam, pada situasi tertentu, perlu adanya sikap tegas terhadap pihak-pihak garis keras dan yang fanatik agar mereka sadar dan mengikuti aturan yang seharusnya. Sering kali terjadi, misalnya saat diadakan sebuah seminar pendekatan antar-mazhab, kita tidak leluasa mengutarakan pelbagai pendapat kita karena masih tetap ada saja rasa fanatik dalam diri kita, atau mungkin kita tidak menjelaskan kenyataan yang sebenarnya tentang suatu mazhab atau pihak lain karena kita tidak sejalan dengan mereka sehingga lawan bicara kita tidak mengetahui yang sebenarnya.

Ketujuh, menjalankan ajaran Al Qur’an, yakni saling menghormati dalam berdiskusi dan bertukar pendapat. Meskipun lawan bicara kita non-Muslim sekalipun, tentu ada titik-titik kesamaan yang dapat ditelusuri dalam pemikirannya dan ditanggapi dengan positif.

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan kondisi politik adalah: Pertama, harus ada pemisah antara permasalahan primer dan permasalahan sekunder dalam masyarakat-Muslim. Sebagian dari permasalahan yang berkaitan dengan keseluruhan umat Islam tidak dapat dilakukan oleh seseorang atau tokoh tertentu yang mewakili beberapa kalangan atau juga sebuah partai yang semuanya mengatasnamakan umat Islam, karena kesalahan bertindak dalam hal ini akan membawa bahaya dan kerugian yang dampaknya akan menimpa umat Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, permasalahan yang mengyangkut kepentingan seluruh umat Islam hanya diselesaikan secara bersama dengan melalui pertimbangan yang matang. Adapun sebagian permasalah yang lainnya, yang bersifat terbatas pada dataran geografis, seperti permasalahan satu negara, adalah masalah yang tidak pokok. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan kondisi masyarakat Muslim setempat dan dengan memperhatikan mazhab-mazhab yang ada.

Kedua, negara-negara adidaya secara umum, dan Amerika secara khusus, adalah pihak-pihak yang menjadikan Islam dan penganutnya sebagai sasaran utama mereka. Umat Islam harus mengerti tindakan dan usaha kolektif apa yang harus dilakukan guna menghadapi mereka.

Ketiga, kita harus waspada dengan maraknya istilah-istilah seperti teroris, kekerasan, kejahatan dan lain sebagainya, yang mana semua kata-kata itu ditujukan kepada kita, umat Islam.

Keempat, kita harus memiliki sikap bersama dalam hal bagaimana seharusnya kita menghadapi upaya-upaya musuh yang berlawanan dengan persatuan umat Islam, juga dalam menyikapi istilah-istilah baru yang tersebar di tengah-tengah komunitas dunia, agar kesatuan umat Islam tetap terjaga.

Persatuan antar umat Islam bukan sekedar formalitas dan slogan belaka, bahkan berkaitan langsung dengan keberadaan Islam dan kaum Muslimin di panggung dunia yang keadaan mereka saat ini sedang terpuruk. Poin terakhir yang perlu kami ingatkan adalah, jika kita memang benar-benar tidak mampu mencapai persatuan, maka paling tidak kita harus bisa mengatur dan memahami perbedaan-perbedaan antara sesama kita, agar keutuhan kita sesama sebagai ummatan wahidah (umat yang satu) selalu terjaga.

Jalan terjal dan berliku yang kita sedang kita lewati begitu banyak. Kita sedang berada di situasi yang genting. sepanjang sejarah kita belum pernah menemukan keadaan umat Islam seperti saat ini. Karena itu, kita harus waspada dan bersikap bijaksana. Jika kita masih sibuk mengungkit perbedaan dan isu ikhtilaf mazhab, maka kita harus bersiap-siap untuk terus terpuruk dan kemudian mengalami kebinasaan.

mar atu fil islam

•Juni 24, 2010 • Tinggalkan sebuah Komentar

المرأة هي المدرسة الأولى في الحياة ، وهي أحد العنصرين الأساسيين في تكوين المجموعة البشرية. فنحن حينما نذكر المرأة نرى أنها مدرسة نشء ومربية أجيال. وحينما نأتي لنتحدث عن دورها في المجتمع نلاحظ أنها في الواقع نقطة لانطلاق المجموعة البشرية ، ولولاها لما كان هناك بشر على وجه الأرض.

ونظراً لكونها المعهد الفطري للوليد ولكون صدرها هو واهب الحياة للجيل اهتم الإِسلام بأن يلقي الضوء في شريعته وأحكامه على المرأة ومكانتها في المجتمع والحياة ، وأن يرتفع بها إلى مصاف الرجل لها ما له وعليها ما عليه ، بعد أن كانت المرأة مهضومة الحق في جميع الأنظمة الدولية التي وجدت قبل الإسلام.

حتى أن كثيراً من الأمم كان قد راج فيها وأد البنات خوفاً من عار وجودهن على وجه الأرض. وكان العلماء وزعماء الديانات يبحثون ويتناقشون على طول قرون عديدة في أن المرأة هل هي إنسان أو غير إنسان ، وهل تحمل روحاً أم لا ، وكانت الديانة الهندوكية مثلاً قد سدت أبواب تعليم كتبهم المقدسة على المرأة لعدم جدارتها لذلك. والديانة البوذية لم يكن فيها سبيل لنجاة لمن اتصل بامرأة. وأما في الديانات النصرانية واليهودية فقد كانت المرأة هي مصدر الإِثم ومرجعه فيهما. وكذلك اليونان فلم يكن للمرأة عندهم أي نصيب من العلم والحضارة ولا ثقافة ولا حقوق مدنية ، وعلى مثله كانت الحال في الروم وفارس والصين وما عداها من مراكز الحضارة الإنسانية. وكان نتيجة لهذا المقت العام الذي كانت تشعر به المرأة أنها نسيت أنّ لها مكانة اجتماعية وأنّ لها كياناً خاصاً.

ولكن الإِسلام هو الدين الوحيد الذي جاء لكي يعطي الصنفين الذكر والأنثى حقه في الحياة ، وهو الدين الوحيد الذي أصلح عقلية الصنفين وبعث في الأذهان فكرة إعطاء حقوق المرأة وحفظ كرامتها. ومن ناحية أخرى فتح أمامها أبواب العلم والمعرفة وأباح لها أن تتعلم ما تشاء من العلوم المقدسة كقراءة القرآن ودراسته وتفسيره إذا أمكنها ذلك. وقد جاء في الروايات عن رسول الله (ص) أنه قال : طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة. وقد أشاد القرآن بالمرأة وخصها في آيات كثيرة تبين مكانتها في المجتمع ( فاستجاب لهم ربهم أنِّي لا أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعض ) (1). ( من عمل صالحاً من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حياة طيبة ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون ) (2). ( من عمل سيئة فلا يجزى إلاّ مثلها ومن عمل صالحاً من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فأولئك يدخلون الجنة يرزقون فيها بغير حساب ) (3).

وذلك لكي تشعر المرأة المسلمة بمسؤوليتها في المجتمع ولكي يشعر المجتمع بوجودها وباعتبارها عضواً أساسياً في حياته ، ولكي لاتستغل إمكانياتها العاطفية والتكوينية أستغلالاً ظالماً. وعلى هذا الأساس فإن المرأة

المسلمة قد حصلت في ظل الإسلام على حقوق وإمكانيات لم تحصل عليها أية أمرأة سواها في شتى القوانين والتشريعات. وقد أرتفع الإسلام بالمرأة لحسابها الخاص ولمجرد كونها إنسانه وأعطاها حقها الطبيعي في كل أدوار حياتها الإجتماعية ، ونحن الآن في صدد إعطاء فكرة مختصرة عن المرأة في تشريعات الإسلام ومفاهيمه.

Hello world!

•Februari 11, 2010 • 1 Komentar

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!